SELALU kita mendengar anggapan begini: aksi 5 menit di Tempat Pemungutan Suara (TPS), dampaknya 5 tahun. Atau, 5 menit di TPS menentukan 5 tahun nasib bangsa. Di kalimat lain, ada yang mengganti kata '5 menit' tadi menjadi '1 menit' karena memang mencoblos itu taklah sampai menghabiskan waktu sampai 5 menit.

Bagi penulis, sebenarnya bukan lima tahun dampak yang diterima jika masyarakat salah memilih pemimpin. Tapi, dampaknya bisa sampai sepuluh tahun atau dua periode kepemimpinan kepala daerah. Kok bisa?

Berdasarkan hasil riset Litbang Kompas, menyebutkan bahwa 56,47 persen petahana (incumbent) menang atau terpilih kembali di Pilkada serentak 2017 yang diselenggarakan di 101 daerah. Jika dibandingkan dengan pilkada serentak 2015 silam, jumlah ini tidak jauh berbeda. Saat itu, sebanyak 53,9 persen petahana terpilih kembali, (sumber: suarajakarta).

Nah, berdasarkan hasil riset diatas, tidaklah berlebihan kalau penulis menyebutkan bahwa salah pilih 1 menit di TPS, ruginya bisa 10 tahun. Kerugian yang dimaksud bisa berbentuk pembangunan daerah yang tak jalan, korupsi, kolusi dan nepotisme merebak dan kehidupan ekonomi jadi mandeg.

Semoga kita tidak salah memilih pemimpin yang auto pilot. Namun yang tidak kalah penting, kita jangan hanya memilih calon kepala daerahnya saja tetapi juga mesti dilihat trackrecord calon wakil kepala daerahnya. Sebab, saat ini banyak kepala daerah yang tersangkut masalah hukum dan posisinya digantikan oleh wakilnya. Jadi salah memilih wakil juga akan merugi 10 tahun.

Lalu, bagaimana untuk Pilkada serentak 2018? Wabilkhusus untuk Pemilihan Gubernur Riau 2018 mendatang? Akankah kita harus tekor gara-gara salah pilih pemimpin? Apalagi dana yang akan digelontorkan untuk helat Pilgubri 2018 jumlahnya hampir setengah triliun rupiah (Rp500 miliar) Na'udzubillah, tsumma na'udzubillah.

Sebagai warga Riau yang memiliki hak pilih di Pilgubri tahun depan, ada baiknya kita cermat dalam memilih pemimpin. Ukuran kita memilih gubernur dan wakil gubernur kedepan hendaknya bergeser ke arah yang lebih rasional, misalnya memilih karena trackrecord calon pemimpin, visi misi dan prestasinya. Sedangkan hal-hal yang bersifat tradisional, seperti ikatan keluarga, kegantengan, suku maupun faktor kelompok dijadikan faktor pendukung saja. Sembako, kain sarung, jilbab dan amplop (duit), kalau pun ini menjadi ukurannya ambil barang dan duitnya jangan coblos orangnya.

Bak cakap orang tua dulu: "kalau hendak memilih pemimpin: jangan dipilih karena duitnya, jangan dipilih karena kayanya, jangan dipilih karena sukunya, dan jangan dipilih karena pangkatnya. Tapi, pilihlah pemimpin karena lakunya"

Kalaulah kita bisa cermat memilih pemimpin, mudah-mudahan pepatah berikut dapat berlaku di negeri lancang kuning ini:

"Yang dikatakan pemimpin: berkata lidahnya masin, bercakap pintanya kabul, melenggang tangannya berisi, menyuruh sekali pergi, menghimbau sekali datang, dan melarang sekali sudah"

Semoga Pilgubri 2018, berjalan sukses dan menghasilkan pemimpin yang amanah. Amin