Pertemuan Apkasindo dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP-RI).
|
JAKARTA (CAKAPLAH) - Hampir satu bulan berlalu sejak dikeluarkannya kebijakan Kementerian Perdagangan tentang minyak goreng atas perintah presiden Jokowi.
Harapannya, agar masyarakat terbantu memenuhi kebutuhan harian. Namun di sisi lain, sengitnya persaingan minyak nabati dunia telah mengalami pergeseran pasca Indonesia menetapkan kebijakan domestic Market Obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO).
Ketua Umum Apkasindo, Dr. Gulat Manurung, MP.,C.APO.,C.IMA kepada CAKAPLAH.com mengatakan, idealnya dampak DMO dan DPO ini ketersediaan minyak goreng akan semakin tersedia dan terjangkau. Namun hingga jelang pertengahan Februari 2022, tujuan dari DMO dan DPO tersebut tidak kunjung tercapai.
"Bila dampak kebijakan ini semakin berkepanjangan, dimana antara perusahaan dengan pemerintah saling-kunci dan hal ini akan berdampak negatif terhadap prospek ekspor minyak CPO dan turunannya dari Indonesia," ujar Gulat seusai pertemuan dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP-RI).
Gulat menjelaskan bahwa pertemuan tersebut atas undangan dari BPKP, melalui Direktur Pengawasan Bidang Pangan, Energi, dan Sumber Daya Alam, Dr. Faisal Ali Hasyim, SE.,M.Si.,CSEP.
Apkasindo, katanya, sangat terpanggil dan terhormat diajak mencari solusi oleh BPKP-RI untuk bisa membantu pemerintah dalam mengatasi kelangkaan dan mahalnya minyak goreng ditengah masyarakat.
"Topik dari pertemuan tersebut sebenarnya ada 3 poin, pertama masalah minyak goreng dan hubungannya dengan harga TBS petani sawit, kedua masalah lambatnya progres Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), Ketiga adalah masalah Pupuk yang mahal. Namun, akibat dalamnya kajian diskusi di topik pertama, terpaksa untuk topik kedua dan ketiga akan dibahas minggu depan," cakap Gulat lagi.
Tujuan dari pertemuan tersebut, sambung Gulat, adalah atas perintah Presiden Jokowi, karena ketiga topik tersebut dianggap sangat serius dan akan dilaporkan langsung ke Presiden oleh Pimpinan BPKP RI.
Selanjutnya dalam waktu dekat Tim BPKP-RI akan segera turun kelapangan untuk berdialog dengan petani, industri Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dan pihak terkait.
Gulat menjelaskan tentang pokok diskusi kali ini hanya tentang DMO, DPO dan minyak goreng serta kesejahteraan petani sawit.
"Dalam pertemuan tersebut APKASINDO diminta pendapat bagaimana cara mengatasi permasalahan kelangkaan dan mahalnya minyak goreng pada 3 bulan terakhir serta kondisi harga TBS terkini," ujarnya.
Disinggung mengenau aegumen Apkasinsi untuk mengatasi kelangkaan dan mahalnya minyak goreng saat ini, Gulat mengatakan sebenarnya persoalan minyak goreng sangat sederhana tapi justru mengakibatkan persoalan yang makin melebar dan sempat menjatuhkan harga TBS petani disaat harga CPO dipasar global hampir tembus Rp.20.000/kg.
Untungnya, kata Gulat bisa cepat teratasi melalui rapat terbatas antara Kementerian Perdagangan dengan Apkasindo, Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), DMSI (Dewan Minyak Sawit Indonesia) dan Kementerian Pertanian.
Namun kondisi kelangkaan minyak goreng masih berkelanjutan. Dinana info terakhir sudah ada 10 pabrik minyak goreng tutup karena tidak kebagian CPO (seharga price DPO).
"Kami Apkasindi mengusulkan supaya pembebanan DMO dan DPO ini juga berlaku bagi semua perusahaan baik yang melakukan eksport maupun tidak. Istilahnya beban ditanggung bersama yang 49 juta ton produksi CPO Indonesia. Jangan hanya yang eksport saja, yang justru saat ini eksport CPO Indonesia sudah sangat kecil, gak lebih dari 10% dari Produksi nasional. Kalau ditanggung bersama, hitungan kami untuk menggendong 4,9 juta ton CPO untuk kebutuhan semua kelas minyak goreng masyarakat totalnya Rp31,6T (dengan Asumsi harga DPO Price CPO untuk minyak goreng Rp.9.300)," jelasnya.
"Jika dibagi rata dari total produksi CPO Indonesia asumsi di tahun 2021 (49 juta ton) dengan harga KPBN Rp.14.905/kg CPO (dikurang PPN), maka beban gotong royongnya hanya sebesar Rp.645/kg CPO. Tentu angka beban ini akan semakin berkurang dan ringan. Jika yang digendong hanya kebutuhan minyak goreng kelas kemasan sederhana dan curah (tanpa minyak goreng premium) yang hanya 3,6 juta ton CPO saja, tentu jauh lebih ringan. Jika model beban bersama ini diberlakukan maka istilah DMO dan DPO akan digantikan dengan nama JBO (joint burden obligation). Jadi semua transaksi CPO dikenakan JBO sebesar Rp.645/kg dan beban JBO hanya satu kali beban, baik eksport maupun domestik," paparnya.
Dana JBO ini, ulas Gulat lagi, akan semakin terjamin karena akan dikelola oleh BPDP-KS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit).
Kalau sudah menerapkan JBO ini, silahkan melakukan eksport atau apapun biar bertambah kencang BK dan PE yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan negara melalui BK dan uang BPDPKS semakin banyak terkumpul untuk membantu ketahanan pangan “dari sawit ke sawit” dan Kemendag tidak pusing sendiri. Karena dengan JBO ini harga minyak goreng terjaga dan berkelanjutan di HET Rp.14.000/liter karena selisih nya sudah ditutup dari JBO tadi.
"Kata kuncinya adalah kebutuhan domestik untuk minyak goreng terpenuhi dan terjangkau, harga TBS Petani progresif berdasarkan harga KPBN, dan produsen CPO serta turunanya bebas berkreasi," tukas Gulat.
Penulis | : | Satria Yonela |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Ekonomi |