(CAKAPLAH) - Apakah hasil perolehan quick count (perhitungan cepat) bisa menjadi representasi hasil akhir dari sebuah riset? Tunggu dulu! Kita jangan buru-buru langsung memberikan kesimpulan terhadap objek dan subjek yang diteliti apakah representative atau tidak. Bagi masyarakat awam, tentu ini akan menjadi bumerang, karena hasil perhitungan cepat dianggap sebagai hasil akhir dari perhitungan yang sesungguhnya. Akan tetapi, bagi mereka yang memahami tujuan dari perhitungan cepat, mereka tidak menjadikan hasilnya sebagai sebuah kesimpulan akhir, sebab quick count hanya sebuah instrument untuk mengawasi terjadinya kecurangan melalui perhitungan manual. Oleh karena itu, kita perlu memahami hakikat yang sesungguhnya dari quick count ini.
Seperti dilansir pada situs kompas.id, di Indonesia, metode quick count dilakukan pertama kali oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Sosial dan Ekonomi (LP3ES). Pada Pemilu 1997, lembaga tersebut secara khusus melakukan quick count di wilayah DKI Jakarta. Lalu, pada Pemilu 1999, LP3ES kembali menguji prediksi penghitungan suara khusus di Nusa Tenggara Barat. Saat itu, ramai juga informasi tentang potensi terjadinya kecurangan oleh penyelenggara Pemilu. Dengan adanya quick count diharapkan bisa memangkas salah satu yang dikhawatirkan banyak pihak, yakni kecurangan pada penghitungan berjenjang, dari TPS, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional. Jadi, dari TPS kemudian langsung dihitung secara nasional. Perlu digaris bawahi bahwa quick count merupakan produk ilmiah. Hasilnya bisa dijadikan sebagai referensi apabila dilakukan dengan metodologi yang benar. Sebab, jika tidak, bukan tidak mungkin akan terjadi kembali seperti peristiwa Pemilihan Presiden 2014, di mana terdapat pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang asal mengklaim kemenangan dengan mengacu hasil quick count dari lembaga survei yang tidak kredibel.
Dalam penelitian ilmiah, suatu realitas bisa dilihat dari dua pendekatan yaitu pendekatan objektif (klasik dan positivistic) dan pendekatan subjektif (kritis). Pendekatan objektif merupakan sebuah pendekatan riset yang melihat realitas secara riil tanpa adanya manipulasi data. Artinya realitas terukur dan diukur secara matematis. Dengan demikian, metodologi yang digunakan untuk menelitinya menggunakan metodologi kuantitatif. Adapun teknik pengumpulan datanya menggunakan survey dengan instrumennya adalah angket atau kuisioner.
Sedangkan pendekatan subjekif merupakan sebuah pendekatan yang melihat realitas sebagai sebuah fenomena yang tidak riil, karena diasumsikan bahwa fenomena dari sebuah realitas tidak saja harus terukur dan diukur secara matematis, tetapi juga bisa diukur secara subjektif dengan menggunakan metodologi kualitatif. Metodologi ini salahsatunya menggunakan teknik pengumpulan data observasi dan wawancara, sebab peneliti ingin mengetahui lebih mendalam tentang dinamika yang terjadi pada realitas yang diteliti.
Lalu bagaimana keberadaan quick count (perhitungan cepat)? Quick count yang sering digunakan oleh banyak Lembaga survey di saat Pemilu, Pilpres dan Pilkada merupakan salah satu instrument riset yang termasuk pada pendekatan objektif. Tahapan awalnya adalah dengan menghitung jumlah populasi dan menarik sampel yang representative dari total populasi. Nah untuk diketahui, dalam teknik pengambilan sampel tersebut tetap saja ada margin of error (tingkat toleransi kesalahan dalam pengambilan sampel). Hitungan margin of error itu adalah 1 persen hingga 10 persen. Semakin kecil margin of error maka akan semakin besar tingkat keabsahannya. Begitu juga sebaliknya, semakin besar margin of error, maka akan semakin kecil tingkat keabsahan atau kepercayaannya. Pertanyaannya sekarang, apakah para Lembaga survey sudah menentukan margin error secara proporsional? Jika margin of error diambil secara proporsional maka akan menghasilkan sampel yang representative. Akan tetapi, jika perhitungan margin of error tidak proporsional, maka tingkat representasi sampel juga tidak proporsional. Kemudian, yang perlu menjadi perhatian dalam perhitungan cepat adalah persebaran sampel. Persebaran sampel juga harus diukur berdasarkan populasinya sehingga tertata lebih merata di setiap wilayahnya.
Persoalan yang sering terjadi dan diabaikan oleh para lembaga survey itu adalah perhitungan margin of error yang tidak proporsional dan sebaran sampel yang tidak merata di setiap wilayah. Terkadang para peneliti tidak professional dalam menentukan margin of error serta persebaran sampel. Bahkan ada di antara lembaga survey yang asal-asalan dalam menentukan sampel. Parahnya lagi, mereka terkadang tidak menentukan kriteria sampel yang hendak diukur. Artinya, proses perhitungan yang mereka lakukan pada akhirnya menghasilkan tingkat kepercayaan yang rendah dan pada akhirnya sulit untuk dipertanggungjawabkan.
Jadi, representative atau tidaknya hasil quick count tergantung pada tingkat kejujuran tim peneliti. Jika tim peneliti jujur maka akan menghasilkan tingkat kepercayaan yang tinggi bagi banyak pihak, tapi jika dinodai dengan manipulasi data dan kecurangan, maka menghasilkan tingkat kepercayaan yang rendah bagi banyak pihak.
Ingat, quick count bukan hasil akhir dari perhitungan Pemilu dan Pilpres. Akan tetapi quick count hanya instrument untuk mengawasi terjadinya kecurangan yang dilakukan melalui perhitungan manual oleh penyelenggara. Semoga pelaksanaan rekapitulasi hasil pemungutan suara Pemilu dan Pilpres Indonesia tahun 2024 ini berjalan damai tanpa kecurangan.*
Penulis | : | Dr. Aidil Haris, S.Sos., M.Si, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI) |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Politik, Cakap Rakyat |