Apriyan D Rakhmat, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik, Universitas Islam Riau, Pekanbaru
|
HIRUK pikuk dan gonjang-ganjing perpolitikan di Tanah Air, termasuk di Riau sedikit mereda dengan datangnya bulan suci Ramadhan 1445 H. Ramadhan senantiasa membawa keberkahan, kedamaian, kesejukan, rahmat, kasih sayang dan ampunan, terkhusus bagi yang menjalankan ibadah di bulan Ramadhan dengan penuh keikhlasan dan sesuai petunjuk Rasululllah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam.
Ramadhan yang diwajibkan berpuasa di siang hari selama sebulan penuh bagi umat Islam, dapat dijadikan momentum untuk melakukan perubahan di dalam segala aspek kehidupan. Perubahan dalam pengertian perbaikan dan peningkatan kualitas hubungan vertikal dengan Khalik (hablum minallah) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (hablum minannas) serta makhluk hidup lainnya di permukaan bumi.
Kenapa Ramadhan dapat dijadikan momen yang tepat? Karena pada bulan Ramadhan umat Islam diwajibkan untuk menahan (imsak) dari godaan hawa nafsu (makan, minum dan berhubungan syahwat suami isteri) serta perkara-perkara lainnya yang tidak baik (seperti berdusta, mencaci-maki atau mengumpat), dari terbit fajar di pagi hari hingga terbenam matahari di waktu sore, dengan niat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pengertian ini yang dikatakan dengan berpuasa.
Dengan adanya sarana latihan berpuasa dari godaan hawa nafsu dan perkara-perkara yang tidak terpuji lainnya selama sebulan penuh, maka ini adalah langkah yang sangat jitu bagi perbaikan untuk kemudian di lanjutkan dan diabadikan setelah Ramadhan berakhir.
Sebagi contoh, seorang pejabat negara selama Ramadhan semestinya berpuasa dari perilaku korupsi, penyelewengan atau berpoya-poya dengan uang negara. Begitu juga para elit politik, seyogyanya selama Ramadhan tidak mengobral janji, mengumbar kata dan menyerang lawan politik dengan bahasa yang kasar dan menohok. Masyarakat awam juga harus menjaga tutur kata dari berdusta, mengumpat atau mencaci-maki selama bulan Ramadhan. Dan dalam masa yang sama segala bentuk kebaikan (ma’ruf) ditebar di permukaan bumi.
Seandainya momentum Ramadhan dijadikan titik tolak perubahan yang berlanjut setelah Ramadhan usai, maka maksud dan tujuan dari puasa supaya menjadi insan yang bertakwa (la’allakum tattaqun) dapat dikatakaan berhasil. Dan untuk Ramadhan berikutnya ditingkatkan lagi, sekurang-kurangnya dapat dipertahankan kualitasnya.
Dalam konteks ini, keberhasilan didikan Ramadhan dapat dilihat dari dua aspek utama. Pertama adanya peningkatan kualitas hubungan vertikal individu dengan Khalik, dan kedua, adanya peningkatan kualitas hubungan horizontal sesama manusia.
Individu-Vertikal
Ramadhan adalah momentum yang sangat tepat di dalam perbaikan kualitas hubungan seorang hamba dengan Khalik. Di dalam Al-Qura dan Hadith banyak diterangkan tentang keistimewaan bulan Ramadhan, yang mana di dalamnya dianjurkan untuk memperbanyak ibadah sebagai sarana untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Di antaranya adalah dengan memperbanyak tadarus Al-Qur’an, zikir, sholat taraweh di malam hari, serta mengkaji dan mempelajari secara intens ajaran-ajaran Islam terutama yang berkaitan dengan segala macam seluk-beluk puasa, dimana hanya disyariatkan sekali dalam setahun.
Hubungan individu-vertikal ini menurut para ulama disebut sebagai akhlak kepada Khalik. Mungkin sebagian kaum Muslimin beranggapan bahwa akhlak yang baik itu hanya berlaku untuk sesama manusia, tidak mencakup muamalah (hubungan) dengan Khalik. Ini, adalah pemahaman yang keliru, bahkan yang pertama sekali kita harus berakhlak yang baik dalam muamalah dengan Khalik.
Ramadhan merupakan momen yang tepat untuk meningkatkan kualitas akhlak kepada Allah. Memenuhi segala macam hak-hak Allah yang selama ini (mungkin) terabaikan. Menurut Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin dalam bukunya Rahasia Hidup Bahagia (1996), berakhlak yang baik dalam bermuamalah dengan Khalik mencakup tiga perkara, yaitu (i) menerima berita-berita dari-Nya dengan membenarkannya, (ii) menerima hukum-hukumnya dengan cara melaksanakan dan menerapkannya, dan (iii) menerima takdir-Nya dengan penuh kesabaran dan keridhoan.
Sebagai bukti seorang yang berakhlak baik kepada Allah, adalah ketika menjalankan puasa yang sudah diwajibkan kepada kaum Muslim yang sudah baligh dan waras. Walaupun cuaca panas, haus dan lapar tetap ditahannnya dengan penuh ridho dan lapang dada. Walaupun secara fitrah manusia hal itu adalah sangat berat bagi jiwa karena meninggalkan sesuatu yang biasa dilakukan sehari-hari seperti makan, minum dan berhubungan syahwat suami isteri di siang hari. Berbeda keadaannya orang yang berakhlak buruk kepada Khalik, ia tentu akan mensikapinya dengan bosan dan benci.
Sosial-Horizontal
Selain sebagai sarana yang tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Ramadhan juga merupakan momen yang tepat untuk melakukan perbaikan kualitas hubungan sesama manusia. Para ulama telah memberikan penjelasan tentang berakhlak yang baik kepada sesama makluk yang secara garis besar mencakup tiga perkara, yaitu (i) tidak menyakiti orang lain, (ii) bermurah hati, dan (iii) bermuka manis.
Banyak keterangan dari Hadis tentang hal-hal yang dianjurkan dilakukan selama Ramadhan yang akan berwujud kepada peningkatan kualitas hubungan sesama manusia. Diantaranya anjuran untuk memperbanyak sedekah dan berbuat baik (ma’ruf) kepada sesama manusia, terlebih lagi memberikan sedekah dan bantuan kepada yang sangat membutuhkan seperti fakir miskin, anak yatim, para janda dan kelompok masyarakat lainnya yang ditimpa musibah dan bencana.
Rasulullah sebagai suri teladan telah mencontohkannya dalam perilaku dan kehidupan Beliau, dimana Beliau adalah orang yang paling dermawan (pemurah), dan kedermawannanya lebih kentara ketika bulan Ramadhan. Kedermawanannya dan murah hatinya Nabi ketika bulan Ramadhan khususnya ketika Malaikat Jibril menemui beliau, digambarkan lebih cepat daripada angin yang bertiup.
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu anhu, katanya; “Rasulullullah adalah orang yang paling dermawan, dan sifat dermawannya itu lebih menonjol pada Bulan Ramadhan, yakni ketika Dia ditemui oleh Malaikat Jibril” (Hadis Shahih Bukhari).
Oleh karena itu, di akhir Ramadhan diperintahkan untuk membayar zakat fitrah yang dikhususkan untuk fakir miskin sebagai wujud dari tanggungjawab sosial dan sekaligus dalam rangka perbaikan hubungan sesama makhluk. Termasuk dalam kategori berakhlak baik kepada sesama manusia yang sangat ditekankan di dalam bulan Ramadhan adalah bertutur kata yang sopan dan baik, tidak boleh mencaci, mengumpat dan perkataan-perkataan lainnya yang berpotensi menimbulkan sakit hati dan kedongkolan dari orang lain. Jadi, sebenarnya ibadah puasa di bulan Ramadhan merupakan sarana dan momentum untuk perbaikan kualitas akhlak kepada Khalik dan sekaligus kualitas akhlak kepada sesama makhluk.
Sejatinya, Ramadhan tidak hanya mendidik untuk peningkatan kesalehan secara individu melalui peningkatan kualitias ibadah (khususnya yang telah ditetapkan secara syar’i), tetapi juga keberhasilan Ramadhan dilihat dari peningkatan kesalehan sosial yaitu semakin baiknya akhlak dengan sesama makhluk. Baiknya kedua hubungan ini, yaitu individu-vertikal dan sosial-horizontal dapat dikatakan sebagai seorang yang bertaqwa secara hakiki. Keduanya harus saling melekat dan tidak bisa dipisahkan.
Wallahu a’lam
Penulis | : | Apriyan D Rakhmat, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik, Universitas Islam Riau, Pekanbaru |
Editor | : | Unik Susanti |
Kategori | : | Riau, Cakap Rakyat, Cakap Ramadan |