(CAKAPLAH) - “Apakah ada hal yang ingin ditanyakan?” tanya dosen di ujung penjelasan menanti respons mahasiswanya. Sedetik, dua detik, tiga detik, kelas hening. Para mahasiswa saling pandang, seolah berharap ada temannya yang mampu menghentikan keheningan kelas tersebut. Namun, tak kunjung ada umpan balik yang didapatkan oleh sang dosen. Lagi-lagi, kelas terjebak dalam situasi yang pasif dan membosankan.
Sebelumnya, situasi kikuk karena tidak ada pertanyaan atau tanggapan dari audiens adalah hal lumrah terjadi di momen kelas/seminar/lainnya. Namun, belakangan ini, saya merasakan pandemi Covid-19 telah mempertebal fenomena tersebut. Minimnya interaksi tatap muka, intensnya komunikasi virtual, dan terbatasnya ruang gerak seolah menjadi patahan baru dalam generasi kita. Tanpa disadari, pandemi boleh jadi menjadi sebuah variabel dominan yang membuat adanya penurunan kemampuan berbicara di depan umum orang-orang pada umumnya.
Generasi muda yang tumbuh di era pandemi seolah harus mengikhlaskan banyak kesempatan, yang harusnya dapat mempertajam kekritisan berpikir dan kemampuan komunikasinya, malah terreduksi akibat situasi pandemi. Lantas, apakah kita harus marah dan menyesali keadaan yang telah terjadi?
Komunikasi adalah kemampuan yang “mahal” di era saat ini. Generasi muda yang perlahan-lahan mulai merasakan hidup normal setelah terbatasnya ruang gerak akibat pandemi harus banyak mengejar ketinggalannya dalam mengasah kemampuan komunikasi publik. Tidak hanya menjadi tanggungjawab mereka secara pribadi, tapi juga menjadi tanggungjawab institusi pendidikan yang menjadi instrumen esensial untuk membangun karakter individu.
Dalam tulisan ini, penulis menawarkan tiga gagasan untuk mewaspadai efek pandemi terhadap penurunan kemampuan berbicara di depan umum. Pertama, mahasiswa harus diberikan pengetahuan yang holistik dan praktis mengenai dasar-dasar wicara publik. Selanjutnya, dari pengetahuan tersebut, mahasiswa harus difasilitasi untuk berlatih berbicara di depan umum dengan efektif dengan metode yang menyenangkan, memotivasi, dan menantang.
Kedua, dosen berperan penting untuk membangun sistem yang dapat memancing mahasiswa dapat berbicara secara bergilir. Hal ini dilakukan agar meminimalisir potensi kesunyian ruang diskusi di kelas. Selain itu, hal ini juga dapat bermanfaat untuk menghindari dominasi dari mahasiswa tertentu, yang mungkin tidak bermaksud untuk mendominasi, tapi ia berbicara karena memang memiliki hal yang ingin disampaikan di kelas.
Ketiga, seluruh elemen dalam institusi pendidikan seharusnya bersinergi untuk membangun ekosistem yang positif dan suportif untuk mahasiswa belajar beragumentasi dan berdiskusi di kelas. Kepercayaan diri mahasiswa harus dibangun untuk berbicara dengan memastikan bahwa ruang kelas adalah ruang yang aman untuk melakukan diskusi yang progresif. Setiap mahasiswa sejatinya harus diajarkan untuk tidak menghakimi diam-diam atau menunjukkan gestur kurang menghormati terhadap siapa yang sedang berbicara di kelas. Selain itu, budaya memberikan apresiasi positif dan kritik yang konstruktif juga harus dibangun antar mahasiswa dan dosen di kelas.
Dengan demikian, ruang kelas dapat menjadi panggung praktik wicara publik yang efisien dan berdampak di usia muda. Sangat disayangkan apabila kesempatan presentasi dan diskusi di kelas menjadi agenda yang dilakukan dengan cara “itu-itu saja”, tanpa inovasi, dan tanpa pembaharuan. Ruang kelas harusnya menjadi wadah persiapan bagi para mahasiswa untuk menghadapi dunia dan panggung wicara publik yang profesional di luar kelas.
Disclaimer: Isi artikel adalah tanggung jawab penulis.
Penulis | : | Michiko Frizdew, S.I.Kom., mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Riau dan pembicara publik berpengalaman. |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Cakap Rakyat |