Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
|
Sejumlah isu menarik mengemuka selama masa kampanye Pemilu 2024 yang berlangsung 28 November 2023-10 Februari 2024. Perhatian tentu tertuju pada kampanye Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Republik Indonesia (RI). Setakad ini yang kerap diangkat dan diulas oleh kandidat di berbagai jenis dan platform media berkaitan Sumber Daya Manusia (SDM). Lebih spesifik menyita atensi kami selaku anggota Komisi V DPRD Riau perihal pemenuhan gizi. Seperti diketahui isu tersebut sudah menjadi agenda nasional. Ketika gizi tidak terpenuhi dampaknya sangat fatal bagi tumbuh kembang anak.
Menyeruaknya kasus stunting mengancam kepentingan negara jangka panjang. Membuyarkan misi menyongsong potensi bonus demografi atau popular dikenal lewat tagline Indonesia Emas 2045. Dalam konteks pemenuhan gizi, masing-masing pasangan Capres dan Cawapres saling beradu gagasan. Kita patut menyambut baik besarnya kepedulian dan concern tiap pasangan terhadap isu penguatan SDM. Sekaligus berharap bukan sekedar janji kampanye, tapi direalisasikan manakala terpilih nantinya.
Menimbang problem pemenuhan gizi teramat kompleks dan pemicunya multidimensional mencakup sosial, ekonomi dan lain-lain, maka penanganan harus sistematis dan komprehensif. Tak bisa andalkan satu kementerian/perangkat daerah. Mesti lintas sektoral. Memutus mata rantai tengkes (stunting) tergantung tiga hal: memberi bantuan subsidi pangan, perbaikan sanitasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Bukti empiris menunjukkan negara maju dan sejahtera tidak menghadapi problem tengkes sebagaimana dialami negara sedang berkembang. Selain komitmen dan keseriusan, keberhasilan negara maju terletak pada pendekatan sistemik. Diantaranya memanfaatkan lembaga pendidikan. Ini jadi program andalan pasangan Capres dan Cawapres. Bentuk kegiatan diusung semisal makan siang gratis (School Meal Program) bagi pelajar. Program tadi inisiatif andalan di sejumlah negara. Menurut data, 58 persen murid di seluruh dunia -atau sekitar 418 juta anak di lebih 76 negara- telah merasakan manfaatnya. Berbagai cerita sukses mengiringi. Contoh penerapan di sekolah India dan Sudan.
Sebuah penelitian terbesar membahas dampak makan siang terhadap siswa sekolah yang digelar di India menemukan bahwa, murid yang mendapatkan makan siang selama 5 tahun memperoleh skor bacaan 18 persen lebih tinggi berikut literasi matematika lebih baik. Disamping meningkatkan kesehatan dan prestasi akademis, program juga meningkatkan kehadiran dan mengurangi angka bolos/putus sekolah serta mengurangi beban ekonomi keluarga.
Ampuh
Sebenarnya kalau diulik-ulik, tak perlu jauh-jauh cari pembuktian dampak keberhasilan intervensi nutrisi ke sekolah. Sekedar informasi, kebijakan serupa sudah dipraktekkan Pemerintah DKI Jakarta dibawah kepemimpinan Anies Baswedan mulai tahun 2018. Program pemberian makan gratis kepada siswa SD melalui program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS) ditujukan ke 459 sekolah yang tersebar di 53 kelurahan. Seluruh pelajar SD Negeri di Jakarta menerima tambahan makanan gratis. Penyediaan makanan dilakukan setiap Senin-Jumat, disesuaikan waktu belajar mengajar entah pagi, siang dan sore. Tentu sangat disayangkan kalau program bagus terbatas di satu provinsi saja. Mengingat banyak daerah lain lebih membutuhkan. Sekarang tinggal kemauan.
Sekali lagi kami sampaikan, alokasi penguatan SDM jangan dianggap beban atau belanja, melainkan investasi. Memang anggarannya tak sedikit. Dalam acara diskusi seorang kandidat Pilpres terungkap kebutuhan anggaran menyentuh ratusan triliun. Namun mengalokasikan anggaran yang dapat dinikmati secara merata oleh rakyat seantero nusantara jauh lebih baik daripada jor-joran membangun satu kawasan yang nantinya cuman dinikmati ASN dan pejabat.
Kalau mau berpikir strategik dan pragmatis, jika program intervensi gizi ke sekolah terlaksana secara luas akan dapat disinergikan guna memperkuat ekonomi kerakyatan. Menyoal realisasi kegiatan pastinya melibatkan proses pengadaan. Sayangnya selama ini dari 4 tipe Swakelola, yang sering digunakan Pemerintah hanya Tipe I dan Tipe II. Sedangkan Tipe III terlebih Tipe IV sangat jarang dilirik asbab kurangnya pemahaman terkait Swakelola di pihak pemerintah maupun Organisasi Masyarakat Sipil (OMS).
Andai program makan siang gratis ke sekolah didorong memakai Swakelola Tipe IV berbasis pemberdayaan masyarakat secara utuh, efek ke perekonomian lebih terasa. Lebih lagi pelaksananya perkumpulan/organisasi orangtua siswa di sekolah bersangkutan. Logika sederhananya, mana mungkin orangtua akan memanipulasi pengadaan menu yang diperuntukkan ke anaknya sendiri? Pengawasan pun lebih melekat, menimbang sesama orangtua saling mengawasi. Tinggal PA/KPA/pemilik anggaran menugaskan tim/tenaga lakukan asistensi/pendampingan ke kelompok masyarakat.
Terakhir bicara ragam jenis menu juga tak perlu mewah. Sumber daya keanekaragaman hayati Indonesia luar biasa. Kita dianugerahi Tuhan beragam jenis pangan sumber karbohidrat, jenis buahan, sayuran, pangan sumber protein, kacang-kacangan, rempah/bumbu dan lain-lain. Pangan-pangan lokal sumber karbohidrat malah banyak yang ramah bagi penderita diabetes. Tapi mirisnya belum semua dikelola secara optimal.
Dahulu pangan lokal dikonsumsi masyarakat setempat. Sekarang diversifikasi pangan pokok tak kunjung terwujud dan konsumsi pangan lokal tidak ada peningkatan berarti. Padahal keragaman pangan kunci pencapaian ketahanan pangan dan gizi keluarga, katup pengaman pasokan pangan daerah setempat saat krisis dan lapangan kerja atau menambah pendapatan rumah tangga serta penggerak ekonomi daerah. Manakala produksi dibiarkan terus turun tanpa perhatian, konsekuensinya pangan lokal makin langka, terabaikan dan terlupakan. Oleh karena itu, program makan gratis dan sejenis tidak semata bermanfaat meningkatkan kecukupan asupan gizi pelajar.
Di sisi lain memperkuat ekonomi dan kesejateraan rakyat serta tak kalah urgen mempromosikan pangan lokal ke segala lini. Pemerintah punya semua: modal dan sarana. Fasilitas Posyandu tempat para ibu diperkenalkan dengan pangan lokal, demikian seterusnya satuan pendidikan mulai PAUD/TK, SD, SMP dan SMA.
Penulis | : | Dr. (H.C) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM (Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |