Dr. H. Biryanto
|
Sebagai salah satu jabatan fungsional di instansi pemerintahan, Widyaiswara relatif masih belum banyak dikenal oleh sebagian besar masyarakat umum. Berbeda halnya dengan jabatan fungsional bidang pendidikan lainnya, sebut saja seperti Dosen dan Guru yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat. Walaupun sama-sama dalam bidang tugas pendidikan, Widyaiswara memang memiliki lingkup tugas yang lebih spesifik yaitu berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan bagi Aparatur Sipil Negara. Selain itu berdasarkan dari beberapa rujukan diketahui bahwa penggunaan kata Widyaiswara dalam jabatan fungsional itu sendiri dapat dikatakan relatif baru bila dibandingkan penggunaan kata Dosen maupun Guru, sehingga wajar jika jabatan fungsional Widyaiswara masih belum familiar oleh sebagian masyarakat.
Secara etimologi, Widyaiswara berasal dari bahasa sanskerta, yaitu vidya yang berarti pengetahuan, dan isvara yang berarti penguasa. Sederhananya, Widyaiswara dapat dimaknai sebagai penguasa ilmu pengetahuan. Jika merujuk pada makna secara etimologi tersebut, Widyaiswara tentu merupakan salah satu jabatan fungsional “mentereng” yang memerlukan kualifikasi khusus untuk menempatinya. Saat ini, untuk menjadi Widyaiswara, seseorang harus memenuhi berbagai persyaratan yang ketat dan dinyatakan lulus uji kompetensi dari Lembaga Administrasi Negara sebagai instansi pembina. Hal ini dilakukan dengan harapan agar seseorang yang ditugaskan sebagai Widyaiswara tersebut benar-benar memiliki kompetensi dan kelayakan untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor: 42 Tahun 2021 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara disebutkan bahwa Widyaiswara adalah PNS yang memiliki tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh untuk melaksanakan kegiatan pelatihan, pengembangan pelatihan, dan penjaminan mutu pelatihan dalam rangka pengembangan kompetensi yang berkedudukan di lembaga penyelenggara pelatihan pada instansi pemerintah. Merujuk pada pengertian tersebut, maka Widyaiswara di lingkup instansi pemerintah adalah mutlak seorang PNS yang diberikan amanah dan kewenangan untuk pengembangan kompetensi ASN.
Tugas Widyaiswara sendiri sebenarnya telah mengalami beberapa kali perubahan yang disebabkan oleh terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pemenuhan kebutuhan masyarakat dan organisasi pemerintah, serta adanya perubahan kebijakan dan landasan hukum. Berdasarkan pada peraturan sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor: 22 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya, tugas Widyaiswara yaitu melakukan kegiatan mendidik, mengajar, dan melatih PNS atau yang biasa disingkat dengan Dikjartih. Tugas Widyaiswara lainnya adalah melakukan evaluasi sekaligus pengembangan pendidikan dan pelatihan pada lembaga pemerintah.
Pelaksanaan tugas Widyaiswara sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, menunjukkan bahwa Widyaiswara lekat sekali dengan kegiatan Dikjartih dan beragam tugas-tugas yang bersentuhan langsung dengan peningkatan dan pengembangan kompetensi ASN. Seiring dengan berjalannya waktu, tugas-tugas Widyaiswara tersebut kemudian berkembang dan bertransformasi menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor: 42 Tahun 2021, ruang lingkup tugas Widyaiswara saat ini mencakup tiga unsur yaitu: pelatihan, pengembangan pelatihan, dan penjaminan mutu. Semakin luas dan kompleksnya ruang lingkup tugas Widyaiswara tersebut, tentunya diharapkan dapat pula memberikan dampak yang lebih signifikan dalam pengembangan kompetensi ASN dan peningkatan kinerja organisasi.
Secara garis besar, dua unsur tugas Widyaiswara yaitu pelatihan dan pengembangan pelatihan memang tidak jauh berbeda dengan tugas Widyaiswara sebelumnya yang menekankan pada aspek Dikjartih, pengembangan model pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Unsur tugas Widyaiswara yang dapat dikatakan sama sekali baru yaitu penjaminan mutu pelatihan. Adanya tugas penjaminan mutu pelatihan tersebut dimaksudkan bahwa setiap Widyaiswara perlu melakukan upaya yang komprehensif untuk pengendalian kualitas mutu terhadap penyelenggaraan pelatihan ASN, sehingga pelatihan yang dilaksanakan dapat berhasil dengan optimal, dan bukan hanya sekedar pemenuhan kewajiban jam pelajaran ASN apalagi bila menjadi kegiatan formalitas saja.
Unsur penjaminan mutu pelatihan memiliki beberapa butir kegiatan, salah satunya adalah menyusun rancangan implementasi pembelajaran terintegrasi (corporate university) atau biasa disingkat Corpu. Berdasarkan Peraturan Lembaga Administrasi Negara Nomor 6 Tahun 2023 tentang Sistem Pembelajaran Pengembangan Kompetensi Secara Terintegrasi (Corporate University), penyelenggaraan ASN Corpu dilaksanakan pada tingkat nasional dan instansi. Secara umum tentunya setiap Widyaiswara setidaknya berperan pada penyelenggaraan ASN Corpu di tingkat instansinya. Tujuan penyelenggaraan ASN Corpu pada tingkat instansi ini yaitu: (a) memenuhi kebutuhan internal organisasi; (b) memenuhi kebutuhan prioritas bidang tingkat nasional dan/atau isu strategis nasional; (c) membuka akses atau mempermudah ASN untuk meningkatkan kompetensinya dan mendukung pelaksanaan manajemen kinerja instansi; dan (d) mendukung pemenuhan kewajiban bagi PNS dalam pengembangan kompetensi.
Lebih lanjut disebutkan dalam Peraturan LAN Nomor 6 Tahun 2023, penyelenggaraan ASN Corpu pada tingkat instansi meliputi tujuh aspek yaitu: struktur ASN Corpu, manajemen pengetahuan, forum pembelajaran, sistem pembelajaran, strategi pembelajaran, teknologi pembelajaran, dan integrasi sistem. Struktur ASN Corpu di tingkat instansi terdiri dari dewan pengarah pembelajaran yang diketuai oleh Pejabat Pembina Kepegawaian, dan tim pelaksana yang terdiri dari koordinator pembelajaran dan koordinator kelompok keahlian. Pada aspek manajemen pengetahuan, pengelolaan proses dan sumber pembelajaran memberikan kebebasan bagi ASN dalam mengakses pembelajaran dengan prinsip fleksibel dan efisien.
Aspek forum pembelajaran dalam ASN Corpu terdiri dari tiga level yaitu strategis, operasional, dan teknis. Berikutnya sistem pembelajaran dilakukan melalui empat tahapan yaitu: diagnosis kebutuhan pembelajaran, pengembangan desain pembelajaran, penyelenggaraan dan implementasi pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Strategi pembelajaran dalam ASN Corpu dilaksanakan dengan proporsi 10-20-70 yaitu: 10% kegiatan pembelajaran pelatihan klasikal dan/atau nonklasikal, 20% kegiatan pembelajaran dari hubungan sosial dan umpan balik, dan 70% didapatkan dari penugasan dan pengalaman di lapangan.
Strategi pembelajaran model 10-20-70 yang diadopsi dalam ASN Corpu sebenarnya telah lama dan banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahan besar, dan terbukti hasilnya lebih baik dalam meningkatkan kompetensi peserta pelatihan, bila dibandingkan pembelajaran yang banyak mengandalkan teori atau pembelajaran formal yang selama ini kita kenal. Model pembelajaran 10-20-70 dikembangkan pada tahun 1980-an oleh tiga peneliti yang bekerja pada Center for Creative Leadership di Carolina Utara, Amerika Serikat yaitu Morgan McCall, Michael M. Lombardo, dan Robert A. Eichinger. Mereka menemukan bahwa pengalaman langsung (70%) merupakan hal yang paling bermanfaat untuk peserta pelatihan dalam meningkatkan kompetensinya, sedangkan pembelajaran sosial dari orang lain (20%), dan sisanya (10%) diperoleh dari pembelajaran formal.
Seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi, saat ini strategi pembelajaran pelatihan juga terus mengalami perkembangan. Menurut riset yang dilakukan oleh Training Industry, proporsi 55-25-20 dinilai lebih efektif dalam pencapaian target peningkatan kompetensi peserta pelatihan. Menurut riset ini, bagaimanapun peserta pelatihan perlu mendapatkan penguatan pengetahuan melalui penjelasan yang komprehensif dari pendidik, sehingga nantinya mereka memiliki bekal yang memadai dalam pembelajaran sosial dan praktek di lapangan. Adanya perbedaan proporsi dari kedua model tersebut dapat dikatakan sebagai hal yang wajar, mengingat kekhasan dari masing-masing pelatihan. Intinya yang bisa dipahami bahwa strategi pembelajaran yang dibutuhkan saat ini adalah yang berorientasi pada praktek nyata dan implementasi di lapangan, dan sedapat mungkin tidak lagi berorientasi pada pembelajaran yang kaku dan terlalu teoritis.
Selanjutnya pada aspek teknologi Pembelajaran ASN Corpu dikembangkan dalam bentuk sistem manajemen pembelajaran (learning management system) yang terintegrasi dengan sistem informasi manajemen ASN. Melalui pemanfaatan teknologi pembelajaran ini diharapkan pelatihan yang dilaksanakan benar-benar sesuai dengan kebutuhan peserta pelatihan dan organisasi, sehingga hasil pelatihan yang dilaksanakan dapat memberikan dampak langsung dan terukur bagi pengembangan kompetensi peserta, serta mampu mendorong tercapainya peningkatan kinerja organisasi. Selanjutnya integrasi sistem dilaksanakan melalui konsolidasi dan keterhubungan antara pengembangan kompetensi dengan sekurangnya aspek perencanaan penganggaran, pengembangan budaya organisasi, penilaian kinerja pegawai, teknologi pembelajaran, manajemen pengetahuan, dan manajemen talenta dan pengembangan karier.
Berdasarkan uraian dari salah satu contoh butir kegiatan pada unsur penjaminan mutu pelatihan tersebut, maka sangatlah jelas bahwa tugas Widyaiswara saat ini semakin berkembang. Seorang Widyaiswara dituntut tidak hanya “hebat” di depan kelas ataupun “keren” di saat pembelajaran e-learning, tetapi juga harus mampu mendesain pembelajaran seefektif mungkin dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada, salah satunya adalah pemanfaatan teknologi pembelajaran. Widyaiswara juga harus mampu mengupdate kompetensi dirinya dengan terus belajar dan beradaptasi secara cepat dengan berbagai perubahan yang terjadi. Jika ingin pembelajaran berhasil, maka Widyaiswara harus mampu menempatkan dirinya sebagai orang pertama yang mau belajar dan menjadi teladan bagi peserta pelatihan.
Seiring dengan tantangan masa depan yang semakin kompleks, maka bukan tidak mungkin tugas Widyaiswara juga akan semakin berat. Diperlukan keseriusan dan kesungguhan untuk berbenah diri dan bertransformasi menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Adanya pengalaman masa lalu dalam pelaksanaan tugas kerja diharapkan dapat menjadi modal penting bagi para Widyaiswara dalam melakukan sharing kompetensi. Namun itu saja tentu tidak cukup, karena apa yang terjadi pada masa lalu sangat berbeda dengan kondisi yang terjadi saat ini. Semua mengalami perubahan, dan untuk itu setiap Widyaiswara harus mampu membiasakan diri bekerja berdampingan dengan perubahan.
Kembali dengan makna Widyaiswara yang telah disebutkan di awal tulisan ini, maka ada tanggung jawab yang besar bagi setiap Widyaiswara untuk menjadi pribadi yang terus belajar dan menempa diri untuk selalu memperkaya pengetahuannya. Adanya transformasi tugas hendaknya juga mendorong Widyaiswara untuk mentransformasi dirinya, sehingga dapat melaksanakan tugas dengan lebih baik. Terlebih dalam menghadapi era revolusi industri 5.0 yang sudah di depan mata, maka sudah barang tentu akan banyak perubahan yang terjadi dalam proses pembelajaran. Jika Widyaiswara tidak mampu bertransformasi, maka bukan tidak mungkin suatu saat nanti jabatan fungsional ini akan semakin sedikit dibutuhkan, atau bahkan bisa jadi hilang tergantikan oleh sistem teknologi. Hal inilah yang perlu menjadi renungan bagi para Widyaiswara agar secepatnya mentransformasi dirinya, sebelum kata terlambat itu benar-benar terjadi.
Penulis | : | Dr. H. Biryanto (Senior Trainer BPSDM Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |