Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
|
Tanggal 3 Januari merupakan Hari Amal Bhakti (HAB). Sekilas mengulas sejarah, HAB dilatarbelakangi kelahiran Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) tahun 1946 silam. Seperti diketahui, mulanya Kemenag bernama Departemen Agama (Depag) yang diamanahi tugas, pokok dan fungsi menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. Melansir situs resminya, pembentukan Depag dinisiasi Muhammad Yamin dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) tanggal 11 Juli 1945.
Selanjutnya, usulan pembentukan Depag turut disampaikan di sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 19 Agustus 1945. Namun mendapat penolakan sejumlah pihak. Kendati begitu, tak mematahkan semangat memperjuangkan pembentukan Depag. Tertanggal 25-27 November 1945, usulan kembali disampaikan di Sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) oleh utusan KNI Banyumas yaitu K.H. Abu Dardiri, K.H.M Saleh Suaidy dan M. Sukoso Wirjosaputro. Akhirnya, sidang secara aklamasi menerima dan menyetujui. Tepat 3 Januari 1946, Pemerintah membentuk Depag definitif. Perdana Menteri Sutan Sjahrir menunjuk Mohammad Rasjidi menteri agama pertama. Penetapan HAB sekaligus hari berdiri Depag didasarkan Penetapan Pemerintah Nomor 1/S.D. tertanggal 3 Januari 1946 (29 Muharram 1365 H). Dikuatkan Penetapan Menag 6/1956 tertanggal 1 Maret 1956. Kemudian 3 Januari 1980, saat peringatan HUT ke-34 Depag, penyebutan hari lahir Depag dirubah menjadi Kemenag.
Di hari peringatan HAB ke-78 tahun ini diharapkan dapat menggugah kembali tekad ke seluruh jajaran Kemenag mulai pusat hingga daerah. Supaya agenda perjuangan pendirian Depag oleh para pendahulu bangsa terus dilanjutkan. Adapun peringatan HAB ke-78 mengusung tema Indonesia Hebat Bersama Umat. Secara kelembagaan bertujuan meningkatkan pelayanan publik, kesadaran kebersamaan dan kerukunan umat serta beramal bakti melayani dan membimbing kehidupan beragama di Indonesia. HAB bukan seremonial belaka. Bagi Kami di komisi V DPRD Riau yang membidangi urusan Sosial dan Keagamaan menilai peran Kemenang begitu penting. Inilah landasan menyampaikan aspirasi ke instansi vertikal terkait dibidang komisi. Kita berharap Kemenag memaksimalkan peran kelembagaan. Sebab, segudang problematika bangsa menanti. Paling utama berkaitan penyelenggaraan ibadah haji. Konteks kekinian, sorotan ke Kemenag cukup tajam sehubungan usulan kenaikan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Sementara pelayanan haji jauh dari kata memuaskan.
Atas dasar itulah saat pembahasan di DPR-RI, Fraksi PKS tegas menolak tegas kenaikan BPIH tahun 1445 H/2024. Sikap PKS tetap mendorong keberlanjutan dana haji, terwujudnya penyelenggaraan efektif dan efisien, tepat guna dan tepat sasaran sebagaimana amanat UU No 8/2019 tentang penyelanggaraan ibadah haji dan UU No 34/2014 tentang pengelolaan keuangan haji sesuai prinsip syariah. Apalagi bicara pengelolaan dana haji belum sepenuhnya menganut prinsip keterbukaan. Ombudsman RI menyatakan perlunya tranparansi pengelolaan dana haji dari sisi nilai manfaat. Pasalnya, 5 juta lebih calon jemaah haji masuk daftar tunggu pemberangkatan. KPK pun ikut menyoroti pelaksanaan haji. Mulai meminta Kemenag melakukan seleksi ketat petugas haji di pusat dan daerah berikut regulasi baru guna mengurangi kecurangan keberangkatan haji. Menurut KPK, banyak temuan dan laporan publik mengeluhkan perlakuan istimewa ke pihak tertentu yang semestinya tidak pergi haji namun bisa berangkat karena minimnya regulasi dan pengawasan. Perihal kinerja inilah yang urgen dievaluasi dan dibenahi. Dengan begitu kepercayaan masyarakat ke Kemenag terjaga.
Khittah
Ironisnya, bukan sibuk benahi kinerja, pucuk Kemenag belakang kerap ciptakan kontroversi. Khususnya era kepemimpinan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas. Pernyataan-pernyataan liar yang berpotensi memecah-belah dan mengganggu kondusifitas sering terlontar. Contoh sewaktu menghadiri acara di Gedung Daerah Provinsi Riau (23/2/2022), se-nusantara dibuat heboh lewat wawancaranya yang menyamakan suara azan dengan gonggongan anjing. "Paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks. Kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu nggak? Artinya apa? Suara-suara ini, apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak jadi gangguan. Speaker di musala-masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada terganggu," Cakapnya. Perkataan barusan sangat disayangkan. Padahal di era penjajahan, pengeras suara masjid dipakai menggelorakan semangat jihad. Di masa sekarang speaker selain azan, juga mengumumkan warga yang wafat, acara sosial, gotong royong dan hajat lain. Kontroversi terbaru kala Menag Yaqut mengajak masyarakat tidak memilih Capres modal wajah ganteng dan bermulut manis. Pernyataan politis tadi tak sinkron dengan himbauan yang pernah disampaikannya ke ASN Kemenag untuk menjaga netralitas di tahun politik.
Kemenag perlu kembali ke ke-khittah-nya. Jalannya mengkaji kembali sejarah. Dulu mula menjabat, Menag Rasjidi disibukkan pembenahan internal. Diantara tugas penting mengakhiri perpecahan umat beragama sepeninggalan era penjajahan yang mempraktikan politik adu domba. Sesudah konsolidasi internal, pekerjaan dilanjut memperjelas tugas dan wewenang. Ditandai pengambilalihan tugas keagamaan yang berserak di beberapa kementerian. Contoh urusan dan masalah perkawinan, peradilan agama, rumah ibadah dan urusan haji sebelumnya dibawah Kementerian Dalam Negeri; tugas dan wewenang Mahkamah Islam Tinggi (MIT) di Kementerian Kehakiman; dan pengajaran agama di sekolah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kembali ke masa penjajahan, dikutip dari Buku Amal bakti Departemen Agama RI, sebenarnya sebelum Indonesia merdeka lembaga mirip Kemenag telah eksis. Urusan agama ditangani adviseur voor inlandsche zaken alias penasihat urusan pribumi. Fokus kolonial terutama orang-orang Islam. Alasannya pragmatis, muslim mayoritas. Bahkan Belanda membentuk lembaga tersendiri yaitu Kantoor Adviseur voor Inlandsche en Mohammedaansche Zaken. Tugasnya memberi nasehat ke pemerintah kolonial terkait Islam di Hindia Belanda, menjalankan penyelidikan dan pengawasan kegiatan politik pergerakan Islam, hingga mengawasi para haji sepulang dari Mekkah. Salah satu tokoh terkenal di lembaga itu Christian Snouck Hurgronje. Di masanya, Hurgronje birokrat paling paham soal Islam.
Pola sama berlanjut di era pendudukan penjajah Jepang. Otoritas Jepang menerapkan pola birokrasi baru, termasuk urusan keagamaan. Disamping mengatur yang boleh dan tidak, birokrasi keagamaan juga menebar propaganda. Otoritas Jepang tentu tidak bisa mengabaikan umat Islam begitu saja. Demi kepentingannya, otoritas Jepang mendekati dan menarik simpati umat Islam sejak awal kedatangan ke nusantara. Beberapa perwira Jepang rajin berkunjung ke masjid-masjid di Jakarta. Otoritas Jepang lalu mendirikan Shumubu di akhir Maret 1942. Lembaga ini bagian Gunseikanbu (Pemerintah Militer Jepang). Jepang juga membentuk Shumuka di daerah-daerah untuk memperlancar urusan birokrasi keagamaan. Pemimpin pertamanya ialah Tokomuzu Horie. Kebijakan pertama Horie di Shumubu yakni menandai rumah-rumah ibadah Islam dan menempatkannya di bawah pengawasan militer Jepang. Pada Juli 1943, Shumubu memulai program merangkul para ulama. Mereka diberi pelatihan dan direkrut sebagai alat propaganda. Intinya lembaga dan departemen agama semasa itu dibuat untuk mengontrol pergerakan Islam dan menegakkan ideologi ketertiban ala penjajah. Jadi eksistensi lembaga dimaksud lebih berdimensi politik daripada pelayanan umum.
Pemaparan sejarah hendaknya dapat dijadikan pelajaran dan modal berharga mengelola kelembagaan negara di bidang keagamaan. Jadi tatkala Menag berkeinginan mensertifikasi para da’i dan penceramah agama atas dalih penguatan penguatan wawasan kebangsaan dan moderasi beragama, serupa mengulang kisah lama. Wajar berbagai kalangan merasa curiga. Terlebih konsepnya samar-samar. Misal narasi wawasan kebangsaan, apakah materi ceramah dibatasi sesuai selera? Begitupula moderasi beragama, apakah umat disebut moderat ketika ikut hari perayaan umat beragama lainnya? Berhubung kelembagaan pemerintah, sulit memisahkan dari agenda politik. Kecenderungan diperkuat penyataan blunder Menag yang mengindikasikan ke arah cawe-cawe politik. Sudah seharusnya mengembalikan Kemenag murni demi melayani umat. Kalau ada konflik dan perselisihan di masyarakat, Kemenag idealnya membimbing dan mengayomi. Bukan sebaliknya, memprovokasi. Konflik sesuatu yang mustahil dihilangkan di dunia. Kedamaian bukan berarti tanpa konflik. Kedamaian manakala keadilan tercipta. Tanpa memojokan satu umat dan kalangan.
Penulis | : | Dr. (H.C) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM (Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Olahraga |