(CAKAPLAH) - Istilah urbanisasi berkelanjutan (sustainable urbanization) muncul ketika Konferensi Habitat III di Quito, Ekuador pada tahun 2016 yang menghasilkan agenda baru pembangunan kota (new urban agenda) yang ingin dicapai sehingga tahun 2036.
Urbanisasi berkelanjutan bermaksud bagaimana mengelola urbanisasi agar dapat memberikan kesejahteraan bagi warga kota, baik dari dimensi ekonomi, kesetaraan sosial maupun pelestarian lingkungan. Bagaimana untuk mengatasi permasalahan warga miskin perkotaan dan menjamurnya perumuhan kumuh dan liar seirama dengan arus urbanisasi yang tidak bisa lagi dibendung di abad kota (urban millenium) masa kini.
Diperkirakan pada penghujung tahun 2050 akan terdapat 75% penduduk dunia yang akan mendiami kawasan perkotaan. Keadaan ini seolah tidak dapat dicegah, dengan semakin derasnya perpindahan penduduk dari desa ke kota (rural-urban migration), khususnya di negara-negara berkembang. Indonesia sebagai contoh, jumlah penduduk perkotaan pada tahun 2015 adalah sebanyak 53% dari keseluruhan penduduk Indonesia, meningkat menjadi 55% pada tahun 2018. Dan diproyeksikan akan meningkat lagi menjadi 66,6% pada tahun 2035, dan 70% pada tahun 2050 (Bappenas, 2019).
Masih dominannya peluang pekerjaan di perkotaan adalah diantara pemantik utama arus urbanisasi di negara-negara berkembang, khususnya pekerjaan informal seperti buruh bangunan, pedagang kaki lima, sopir, pekerja kebun, pembantu rumah tangga dan kerja kasar lainnya. Selain itu, adalah karena masih minimnya sarana dan prasarana yang ada di pedesaan yang mendorong masyarakat untuk hijrah ke perkotaan untuk mendapatkan layanan yang lebih baik.
Sebenarnya kehadiran pada pendatang dari desa membawa banyak keuntungan bagi warga kota, seperti penyediaan tenaga kerja dan dapat membantu menyediakan berbagai keperluan rumah tangga dengan harga yang lebih murah dengan wujudnya beranekaragam pekerjaan informal. Namun di sisi lainnya, karena para pendatang tidak dibekali dengan hard skill dan soft skill yang memadai tidak mampu untuk bersaing mendapatkan pekerjaan yang layak (pekerjaan formal) yang juga terbatas jumlahnya di perkotaan. Sehingga mereka terpaksa bekerja di sektor informal untuk dapat bertahan hidup. Dan bagi yang tidak tertampung lagi di sektor informal jadilah mereka menjadi gelandangan (tuna wisma), pengemis (tuna karya) atau pekerja sek komersial (tuna susila).
Pertanyaanya bagaimana cara mengelola urbanisasi berkelanjutan tersebut? Menurut hemat penulis ada dua cara yang dapat untuk dilakukan. Pertama, pemerintah kota merencanakan dan merancang kota yang inklusif, aman, nyaman, sehat, berketahanan dan berkelanjutan. Dengan wujudnya kota seperti ini akan dapat memunculkan komunitas yang berkelanjutan (sustainable community) yaitu suatu komunitas yang memiliki pendapatan yang memadai, ikatan sosial yang tinggi dan terciptanya lingkungan yang lestari.
Seturut itu, pemerintah juga harus dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya untuk menampung meningkatnya angkatan kerja dari arus urbanisasi. Lapangan pekerjaan yang tidak menuntut skill yang terlalu tinggi seperti industri pembuatan (manufature industry), dan industri skala kecil dan menengah lainnya (UMKM). Intinya adalah industri yang bersifat padat karya. Dalam hal ini pemerintah kota juga harus pro aktif dan jeli untuk mencari investor yang dapat untuk menanamkan modalnya, baik itu pengusaha lokal, lokal-nasional ataupun manca negara.
Selain itu adalah penyediaan layanan dasar bagi warga kota berupa fasilitas sekolah mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Fasilitas kesehatan berupa klinik kesehatan, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan rumah sakit yang dapat di akses dengan mudah dan murah. Termasuk juga adalah penyediaan untuk penerangan (listrik), air bersih, dan sanitasi yang layak dan berkualitas. Intinya di sini adalah pemerintah dapat untuk memberikan kesejahteraan kepada warga kota, baik itu penduduk asli maupun untuk para pendatang (migran) tanpa memandang asal, suku, warna kulit dan agama. Besar-kecil, tua-muda, kaya-miskin, dapat hidup bersanding dengan nyaman dan berbahagia.
Kedua, adalah dengan mengurangi ketimpangan antara pembangunan kota dan desa, dengan membangun sarana dan prasarana desa yang mencukupi dan berkualitas. Sehinga arus barang dan manusia dari desa ke kota dan sebaliknya dapat berjalan dengan lancar. Di samping itu efisiensi ekonomi akan dapat diwujudkan, sehingga daya saing desa dapat untuk dipertingkatkan. Dengan terlengkapinya sarana dan prasarana secara langsung ataupun tidak langsung akan dapat mengurangi arus urbanisasi.
Selanjutnya, pemerintah juga harus mendorong industrialisasi di pedesaan, dalam bentuk industri rumah tangga (home industry) dan industri skala kecil dan menengah sehingga dapat untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Karena mayoritas urbanisasi didorong karena sempitnya lapangan pekerjaan yang ada di pedesaan. Jikapun wujud lapangan pekerjaan namun tidak dapat untuk menopang kebutuhan hidup yang semakin tinggi.
Industri yang disesuaikan juga dengan komoditas unggulan yang tersedia atau berpotensi untuk dikembangkan, baik di bidang perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan atau pertambangan. Termasuk juga potensi pariwisata dalam bentuk desa wisata atau eko wisata (ecotourism) yang kini semakin ramai diminati masyarakat.
Intinya adalah dapat untuk mewujudkan desa yang maju, menarik dan berdaya saing. Desa yang maju dari segi ekonomi yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan masyarakat. Menarik dengan kelengkapan sarana dan prasarana desa plus tata ruang desa yang berkualitas. Serta mampu untuk bersaing, setanding dengan keadaan yang ada di perkotaan. Mungkin tidak semaju yang ada di kota, namun sudah dapat sebanding alias tidak jauh berbeda dengan keadaan di kota.
Keadaan ini seperti yang digambarkan oleh sebagian para ahli sebagai desa yang berkelanjutan (rural sustainable), dimana desa yang maju dari segi ekonomi dengan banyaknya lapangan pekerjaan (pro job), semakin memudarnya kaum miskin dan tertinggal (pro poor), dan pada masa yang sama dapat terwujud lingkungan yang asri, hijau, hening dan nyaman (pro environment). Semoga.
Penulis | : | Apriyan Dinata, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, UIR |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |