![Kelmi April 2024 Kelmi April 2024](/assets/ads/14042024/wwwcakaplahcom_cakaplahcom_2jfj3_1859.jpg)
![]() |
Yasrif Yakub Tambusai, SH, MH
|
MUNGKIN sudah banyak diantara kita yang lupa, bahwa sistim pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat yang sudah terlaksana sejak tahun 2005 pernah mengalami penjegalan. Dijegal untuk mengembalikan sistim pemilihan kepala daerah melalui perwakilan alias oleh DPRD sebagaimana halnya sebelum era Reformasi. Yang menjegalnya adalah negara sendiri melalui pembentukan UU Pilkada tak langsung diujung masa pemerintahan Presiden SBY melalui UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang diundangkan tanggal 2 Oktober 2014.
Argumentasi mengapa pemilihan dikembalikan kepada lembaga DPRD berdasarkan evaluasi terhadap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung dan satu paket dengan wakilnya, memunculkan fakta empiris bahwa biaya yang harus dikeluarkan baik oleh pemerintah maupun pasangan calon kepala daerah sangatlah besar yang berpotensi pada peningkatan korupsi, maraknya politik uang, penurunan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, peningkatan eskalasi konflik di tengah masyarakat serta penurunan partisipasi pemilih. Di sisi lain dengan sistim Pilkada tak langsung dapat menguatkan tata kelola pemerintahan daerah yang efisien dan efektif dalam konstruksi asas desentralisasi pemerintahan daerah. Tetapi Very Junaidi dari LSM Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan, bahwa beberapa kelemahan penyelenggaraan Pilkada langsung tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk menghapuskannya. Biarkan mekanisme pemilihan itu dilakukan secara langsung oleh rakyat dengan beberapa catatan yang harus diperbaiki dari proses penyelenggaraannya.
Terbitnya UU Nomor 22 Tahun 2014 (UU Pilkada tak langsung) ditentang keras oleh banyak pihak, mulai kalangan aktifis LSM, kampus dan kelompok civil society sampai aktifis-aktifis partai politik yang menolak pengesahan UU di DPR. Bahkan sebelum RUU itu disahkan beberapa tokoh politik dalam pemerintahan menyatakan penolakannya secara terang-terangan. Tersebut diantaranya Basuki Tjahja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta waktu itu, menyatakan mundur sebagai anggota Partai Gerindra karena tidak sependirian dengan partainya yang mendukung Pilkada melalui DPRD. Walikota Bandung Ridwan Kamil dan sejumlah anggota Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia) juga menyatakan menolak pemilihan tidak langsung kepala daerah. Pada waktu bersamaan terjadi “gerakan massal” pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi justru sebelum UU itu diundangkan tanggal 2 Oktober 2014. Mengutip berita Hukum Online.Com (3 Oktober 2014), ada lima kelompok masyarakat yang mengajukan gugatan ke MK, yaitu enam perorangan dan LSM, pengacara OC. Kaligis, 13 perorangan, pengacara Andi Asrun yang mewakili buruh harian dan Lembaga Survei, serta seorang calon Bupati independen Budhi Sarwono.
Konsekuensi Pemberlakuan UU Pilkada Tak Langsung
Melihat ketentuan-ketentuan yang termuat dalam UU Pilkada tak langsung, sekurang-kurangnya ada 5 konsekuensi hukum dan politik yang akan timbul apabila UU tersebut diberlakukan. Pertama, rakyat tidak memiliki celah representasi dan daya tawar terhadap bakal calon. Memang ada instrumen uji publik dengan pembentukan panitia uji publik berasal dari unsur akademisi dan tokoh masyarakat. Tetapi instrumen ini tak lebih sebagai persyaratan formalitas administratif. Hasil uji publik bukan berbentuk rekomendasi, misalnya seorang bakal calon layak direkomendasikan atau tidak layak direkomendasikan menjadi seorang calon kepala daerah. Output panitia uji publik sebatas mengeluarkan surat keterangan bahwa bakal calon sudah mengikuti uji publik dan menyampaikannya kepada fraksi atau gabungan fraksi pengusul di DPRD untuk pemenuhan persyaratan pendaftaran sebagai calon (Pasal 16).
Kedua, perlakuan diskriminatif dan tidak adil terhadap calon perseorangan. UU Pilkada tak langsung mengadopsi keberadaan calon perseorangan dengan terlebih dahulu memenuhi syarat dukungan dari penduduk. Untuk calon Gubernur dengan jumlah penduduk 2 juta sampai 6 juta misalnya, harus didukung minimal 5% atau minimal 100.000 sampai 300.000 orang lengkap dengan potocopy KTP-e atau surat keterangan. Apabila dengan dukungan rakyat sebanyak itu dinyatakan memenuhi syarat, maka jadilah status yang bersangkutan sebagai calon gubernur. Lalu terpilih atau tidak terpilihya calon perseorangan sebagai gubernur ditentukan oleh hanya puluhan anggota DPRD. Sementara calon gubernur dari partai politik/fraksi setelah ditetapkan oleh pengurus partai/fraksinya dengan tanpa keterlibatan rakyat dapat menjadi calon untuk mengikuti pemilihan. Seandainya orang yang diusung partai politik berhalangan setelah berstatus sebagai calon dapat diganti dengan calon baru oleh fraksinya. Sedangkan bagi calon perseorangan apabila berhalangan saat telah berstatus sebagai calon tidak dapat diganti alias gugur. Dapat dibayangkan betapa diskriminatif dan tidak adilnya pemberlakuan terhadap calon perseorangan dengan sistim pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Ketiga, terjadi pengekangan kebebasan anggota DPRD. Pasal 31 ayat (2) UU ini menegaskan bahwa pemberian suara dilakukan dengan cara berdiri bukan melalui surat suara atau secara rahasia. Cara pemberian suara ini selain bertentangan dengan asas bebas pelaksanaan pemilihan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, juga akan mengekang kebebasan anggota DPRD dalam menentukan pilihannya. Oleh karena semua orang yang hadir melihat siapa memilih siapa, maka anggota Dewan pasti tidak dapat bebas menentukan calon yang akan dia pilih, terutama jika pilihannya berbeda dengan calon yang diusung fraksinya. Mekanisme pemilihan orang dengan cara berdiri tiada lain merupakan pengulangan dari apa yang diterapkan di era pemerintahan Orde Baru.
Keempat, kepala daerah dipilih tidak satu paket dengan wakilnya. Dalam sistim pemilihan tak langsung ini gubernur, bupati dan walikota dipilih oleh DPRD sedangkan wakilnya ditentukan melalui sistim pengusulan dan pengangkatan. Wakil Gubernur diangkat oleh Presiden berdasarkan usulan dari gubernur, sedangkan wakil bupati dan wakil walikota diangkat oleh Menteri Dalam Negeri berdasarkan usulan dari bupati dan walikota yang pengusulannya dilakukan dalam jangka waktu 15 hari setelah pelantikan. Oleh karena wakil kepala daerah ditetapkan melalui pengangkatan, maka apabila kepala daerah berhalangan tetap, mereka tidak serta merta dapat mengganti kepala daerahnya, tetapi hanya sebagai pelaksana tugas harian sampai terpilihnya kepala daerah pengganti (Pasal 50). Dengan sistim pengusulan dan pengangkatan tersebut, maka status wakil kepala daerah yang diangkat tak lebih sebagai pejabat administratif yang posisi tawarnya lemah serta akan kurang memperoleh penghargaan di lingkungan jajaran pejabat daerah.
Kelima, mengakibatkan tidak berlakunya UU Penyelenggara Pemilu. Pasal 70 UU 22 Tahun 2014 menegaskan bahwa dengan berlakunya UU ini semua ketentuan mengenai tugas, wewenang, dan kewajiban penyelenggara pemilihan gubernur, bupati dan walikota dalam UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Artinya KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota menganggur sampai penyelenggaraan Pemilu berikutnya. Begitu juga Bawaslu Provinsi menjadi pengangguran sampai tiba tahapan Pemilu berikutnya. Adapun lembaga adhoc KPU seperti PPK, PPS dan KPPS, serta adhoc Bawaslu yaitu Panwas Kab/Kota, Panwas Kecamatan, PPL dan Pengawas TPS akan dibentuk hanya 5 tahun sekali menjelang penyelenggaraan Pemilu legislatif dan Presiden.
Pencabutan dengan Perppu
Melihat besarnya gelombang penolakan terhadap UU Pilkada tak langsung dan mempertimbangkan bagaimana mengakhiri masa jabatan yang husnul khatimah, Presiden Susilo Bambang Yudoyono, yang partainya di DPR semula mendukung Pilkada tak langsung, akhirnya menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) No 1 Tahun 2014 yang mencabut UU No 22 Tahun 2014. Dengan demikian sistim Pilkada kembali dipilih secara langsung oleh rakyat.
Ada hal menarik dengan terbitnya Perppu, dimana UU No 14 Tahun 2014 tercatat sebagai UU yang masa berlakunya paling sebentar di dunia, hanya dalam hitungan jam. Pada jam kerja 2 Oktober 2014 pengundangan UU Pilkada ditandatangani (berlaku), lalu pada malam hari di tanggal yang sama Presiden SBY menandatangani Perppu sekaligus pengundangannya. UU Pilkada tercatat dalam Lembaran Negara RI Tahun 2014 bernomor 243 lalu disusul dengan Perppu bernomor 245. Jadi sistim Pilkada langsung oleh rakyat secara regulasi perundang-undangan pernah mengalami penjegalan meskipun dalam hitungan jam, akan tetapi kontroversial yang mengiringinya berlangsung cukup lama dan menghebohkan jagad perpolitikan Indonesia.#
Pekanbaru, 29 Juni 2024
Penulis | : | Yasrif Yakub Tambusai, SH, MH (Direktur Utama Sentra Pemilu Indonesia, Anggota Bawaslu Kota Pekanbaru 2018-2023) |
Editor | : | Delvi Adri |
Kategori | : | Cakap Rakyat |
![Idulfitri 1445 Riau Petroleum Idulfitri 1445 Riau Petroleum](/assets/ads/23042024/wwwcakaplahcom_cakaplahcom_fkkh2_1863.jpg)
![](/assets/news/23062024/cakaplahcom_vmwvf_111833_s.jpg)
![](/assets/news/17062024/cakaplahcom_xwrpf_111649_s.jpg)
![](/assets/news/18062024/cakaplahcom_cwbh7_111667_s.jpg)
![](/assets/news/28062024/cakaplahcom_kuazm_112029_s.jpg)
![](/assets/news/27062024/cakaplahcom_7vtrv_111980_s.jpg)
![](/assets/news/14062024/cakaplahcom_6cgfy_111555_s.jpg)
![](/assets/news/23062024/cakaplahcom_scdhd_111828_s.jpg)
![](/assets/news/01062024/cakaplahcom_52xqd_111102_s.jpg)
![](/assets/news/10062024/cakaplahcom_xqnbh_111404_s.jpg)
![](/assets/news/24062024/cakaplahcom_2fsbc_111863_s.jpg)
![](/assets/news/16052024/cakaplahcom_zfgph_110500_s.jpeg)
![](/assets/news/07052024/cakaplahcom_smt2x_110180_s.jpg)
![](/assets/news/01062024/cakaplahcom_uspqk_111093_s.jpg)
![](/assets/news/27052024/cakaplahcom_jdeym_110889_s.jpg)
![](/assets/news/10032024/cakaplahcom_uunf9_108307_s.jpg)
![](/assets/news/26042024/cakaplahcom_ygz3d_109785_s.jpg)
![](/assets/news/20052024/cakaplahcom_bytfv_110670_s.jpg)
![](/assets/news/08062024/cakaplahcom_n5q95_111350_s.jpg)
![](/assets/news/18052024/cakaplahcom_8erc3_110600_s.jpg)
![](/assets/news/25042024/cakaplahcom_sc2zg_109740_s.jpg)
![](/assets/news/11022024/cakaplahcom_nuyvb_107289_s.jpg)
![](/assets/news/10042024/cakaplahcom_jdptx_109315_s.jpg)
![](/assets/news/08022024/cakaplahcom_xp9ja_107208_s.jpg)
![](/assets/news/28032024/cakaplahcom_g8f5e_108924_s.jpg)
![](/assets/news/14022024/cakaplahcom_ye4pq_107398_s.jpg)
![](/assets/news/31012024/cakaplahcom_cu69x_106921_s.jpg)
![](/assets/news/11012024/cakaplahcom_kr6ww_106193_s.jpg)
![](/assets/news/27122023/cakaplahcom_7hyha_105677_s.jpg)
![](/assets/news/26012024/cakaplahcom_jxgzb_106741_s.jpg)
![](/assets/news/23122023/cakaplahcom_t8xrv_105586_s.jpg)
![cakaplah-mpr.jpeg](/assets/cakaplah-mpr.jpeg)
![](/assets/article/26102023/cakaplahcom_vh89x_13771_m.jpg)
![AMSI AMSI](/assets/ads/21122017/wwwcakaplahcom_cakaplah_6reuq_191.jpg)
![](/assets/article/07112023/cakaplahcom_axzq2_13880_m.jpg)
![](/assets/article/03072024/cakaplahcom_jwzcu_15493_m.jpg)
![](/assets/article/02072024/cakaplahcom_7txpu_15494_m.jpeg)
![](/assets/article/09032023/cakaplah_tfexa_12016_m.jpg)
![](/assets/article/21062024/cakaplahcom_wdv62_15458_m.jpg)
![](/assets/article/29052024/cakaplahcom_lqdmj_15338_m.jpg)
![](/assets/article/01072024/cakaplahcom_qlz5b_15487_m.jpeg)
![](/assets/article/08052023/cakaplah_p3fmx_12440_m.jpg)
![](/assets/article/27062024/cakaplahcom_bmmke_15477_m.jpg)
![LW 2 LW 2](/assets/ads/30052024/wwwcakaplahcom_cakaplahcom_wzhwb_1878.jpg)
01
02
03
04
05
![Iklan CAKAPLAH Iklan CAKAPLAH](/assets/ads/17052023/wwwcakaplahcom_cakaplah_sru38_1609.jpg)
![HUT Pekanbaru Ke-240 - Bank Raya HUT Pekanbaru Ke-240 - Bank Raya](/assets/ads/24062024/wwwcakaplahcom_cakaplahcom_smzx8_1903.jpg)
![](/assets/article/10102019/cakaplah_nd9er_2896_m.jpg)
![](/assets/article/14082023/cakaplahcom_z9wae_13225_m.jpg)
![](/assets/article/10062024/cakaplahcom_kvvet_15396_m.jpg)